
Teka-Teki Kata “Gegara” dan “Tetiba”
Belakangan ini bahasa gaya yang terjadi di jejaring sosial marak terjadi, di antaranya adalah kata “tetiba” dan “gegara”. Ketika saya menelusuri internet, kata-kata tersebut sudah dikenal selama beberapa tahun terakhir, tetapi masih menjadi pertanyaan besar asal-muasalnya. Karena penasaran, akhirnya selama beberapa hari ini saya menelusuri beberapa tautan di bawah untuk saya pelajari. Selain itu juga saya berdiskusi dengan seorang teman yang membantu saya memahami istilah-istilah linguistik ketika membuka buku Kamus Linguistik.
http://rainiku.tumblr.com/post/39065796041/fenomena-bahasa-yang-tetiba-jadi-gegara
https://renjanatuju.wordpress.com/2013/02/13/bahasa-tetiba-dan-gegara/
http://tatabahasayangbaik.blogspot.co.id/2013/02/kata-ulang-dwipurwa.html
https://nugie28.wordpress.com/2013/02/09/tetiba-memperdebatkan-gegara/
Semua tulisan di atas memiliki teori yang sama untuk mendukung keberadaan kata “tetiba” dan “gegara”. Mereka menjelaskan bahwa kedua kata tersebut bisa dibentuk karena adanya Kata Ulang Dwipurwa. Namun sepertinya pengertian kata ulang dwipurwa masih belum dipahami dengan benar sehingga contoh-contoh yang diberikan tidak konsisten dan terkesan bertabrakan ketika mencoba menjelaskannya.
Mari kita kupas dari arti kata ulang dahulu. Kata ulang adalah kata yang terjadi hasil proses reduplikasi atau pengulangan pada kata dasar. Reduplikasi atau perulangan adalah proses pengulangan kata atau unsur kata. Reduplikasi juga merupakan proses penurunan kata dengan perulangan utuh maupun sebagian. Contohnya adalah “anjing-anjing”, “lelaki”, “sayur-mayur” dan sebagainya.
Kata ulang dwipurwa merupakan pengulangan sebagian atau seluruh suku awal sebuah kata atau pengulangan suku kata awal. Dari hasil pengecekan saya tidak ada satu sumber pun yang saya periksa menjelaskan bahwa kata ulang dwipurwa dibentuk dari bentuk ulang sebuah kata, misalnya, “tetangga” bukanlah dwipurwa dari “tangga-tangga”.
Perhatikan suku kata awal dari setiap kata di bawah ini
tamu | tetamu |
laki | lelaki |
tangga | tetangga |
sekali | sesekali |
sama | sesama |
luhur | leluhur |
Bisa dilihat dari contoh di atas bahwa dwipurwa hanyalah sebuah konsep pembentukan kata. Kata ulang dwipurwa memiliki makna yang berbeda dengan makna kata dasarnya. Jika kita perhatikan, kata “tetangga” memiliki makna yang berbeda dari kata “tangga”. Begitu pula pada kata “leluhur” tidak berkaitan dengan kata “luhur”.
Pembentukan kata di atas tidak dibentuk dari kata ulang. Seperti pada kata lelaki merupakan perubahan bentuk dari kata “laki”, bukan “laki-laki”. Kata “tetamu” juga dibentuk dari kata “tamu” bukan “tamu-tamu”.
Masalahnya adalah “tiba-tiba” dan “gara-gara” bukanlah hasil dari kata ulang melainkan bentuk dasar kata tersebut, dan tidak berasal dari kata dasar “tiba” dan “gara” karena “tiba” dan “gara” memiliki arti tersendiri yang sama sekali tidak berkaitan dengan “tiba-tiba” maupun “gara-gara”. Contoh kata lainnya adalah “laba-laba” yang tidak memiliki arti yang sama dengan kata “laba”.
Oleh karena itu, jika kita ingin menerapkan konsep pembentukan kata ulang dwipurwa pada kata “gara-gara” dan “tiba-tiba” pembentukan kata yang seharusnya terjadi adalah “gegara-gara” atau “tetiba-tiba”.
Fenomena “bahasa gaya” ini memang menarik dan tidak ada salahnya digunakan untuk memperkaya kosakata di dalam berkomunikasi. Tetapi harus jelas apakah memang kata tersebut termasuk dalam kosakata bahasa Indonesia atau tidak. Semoga informasi ini bisa membantu menjelaskan ketidaktepatan penggunaan kata “gegara” dan “tetiba” dalam pemakaian bahasa Indonesia yang baik.
Rujukan :
https://id.wikipedia.org/wiki/Reduplikasi
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php
https://id.wikipedia.org/wiki/Dwipurwa
https://id.wikibooks.org/wiki/Bahasa_Indonesia/Kata_ulang
http://www.berpendidikan.com/2015/05/macam-macam-kata-ulang-dan-contohnya.html
Kamus Linguistik Edisi Ketiga (Harimurti Kridalaksana)
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat